Translate Bahasa Inggris Hukum

 Pemberantasan Kekerasan Seksual di Indonesia: Jalan di Depan Oleh: Jessica Vincentia Marpaung.


* Jessica Vincentia Marpaung adalah dosen hukum HAM di Universitas Pelita Harapan dan alumni Harvard Law School.


Sumber Berita: (https://jakartaglobe.id/opinion/sexual-violence-eradication-in-indonesia-the road-ahead).


Film peraih penghargaan yang baru dirilis, Mesin Fotokopi telah memberikan gambaran sekilas tentang kekerasan seksual yang sulit dipahami di Indonesia. Sekilas sangat jelas, sebenarnya, sebagai anggota kru produksi ironisnya ternyata menghadapi tuduhan penyerangan seksual.


Baik yang sukar dipahami maupun yang meresap, kekerasan seksual semakin menguasai bangsa perhatian sepanjang tahun 2021, dari kasus pelecehan seksual kampus yang menuntut dikeluarkannya Permendiknas, pemerkosaan yang terjadi secara mencengangkan di lembaga keagamaan, hingga tarik ulur parlemen untuk meloloskan RUU Pemberantasan Kekerasan Seksual.


RUU yang telah dibahas selama enam tahun itu akhirnya disetujui oleh DPR sebagai inisiatif perwakilan pada 18 Januari 2022. Ini sedang dalam proses untuk didiskusikan dengan pemerintah dan disahkan sebagai undang-undang. Penerbitan UU Pemberantasan Kekerasan Seksual memang akan menjadi tonggak penting bagi perjuangan melawan kekerasan seksual di Indonesia.


Pertama, undang-undang akan memberikan definisi hukum tentang apa itu kekerasan seksual. Sejauh ini secara positif undang-undang mengakui pemerkosaan sebagai tindak pidana berdasarkan Pasal 285 KUHP. Untuk membuktikan pemerkosaan terjadi,yaitu dengan adanya hubungan seksual yang harus dibuktikan.


Bagaimana dengan tindakan selain pemerkosaan? Konsep 'kejahatan terhadap kesusilaan' diatur dalam Pasal 289 KUHP. Masalahnya adalah saat ini tidak ada standar tetap tentang nilai 'kesopanan' .


Sementara itu, kekerasan seksual sangat bernuansa. Menurut Kesehatan Dunia Departemen Kesehatan dan Penelitian Organisasi, 'pemaksaan' seksual berkisar dari yang tidak diinginkan rayuan atau pelecehan seksual, hingga pemerkosaan. Itu bisa berakibat mental atau fisik, dengan beragam derajat kekuatan dan metode. 


Jelas sekali bahwa, tanpa hukum yang jelas, tidak ada perlindungan terhadap ancaman bernuansa seperti itu.


Sebenarnya Peraturan Menteri tentang Pemberantasan Kekerasan Seksual Kampus telah berusaha untuk memberikan definisi kekerasan seksual yang menyeluruh. Peraturan ini juga menekankan tidak adanya persetujuan sebagai indikator penentu kekerasan .


Namun, banyak yang mengklaim bahwa konsep 'persetujuan' seperti itu membuka jalan untuk mengizinkan seks bebas atau zina. Tanpa payung hukum tentang kekerasan seksual, perdebatan dan ambiguitas ini akan terus berlanjut.


Kedua, UU Pemberantasan Kekerasan Seksual akan memberikan keadilan bagi korban.Ini menjamin mekanisme pelaporan yang jelas untuk bantuan dan perlindungan korban selama penyelidikan.


Para korban diberikan kesempatan untuk menerima rehabilitasi dan restitusi. hukum dimaksudkan tidak hanya untuk memberantas tetapi juga untuk mencegah kekerasan seksual.


Dengan globalisasi, urgensi pemberantasan kekerasan seksual menjadi lebih jelas.Internet memungkinkan kekerasan seksual online mengancam orang dewasa yang berpengalaman dan anak-anak sederhana. Pihak berwenang seperti polisi dan komisi nasional harus bekerja sama dengan berbagai kementerian, termasuk Kementerian Komunikasi dan Informatika,untuk mengatasi masalah ini.


Undang-undang Pemberantasan Kekerasan Seksual yang komprehensif akan menjadi dasar yang sangat dibutuhkan untuk memungkinkan kebijakan masa depan seperti itu. Berbagai belahan dunia melakukan pertempuran serupa melawan kekerasan seksual .


Di Amerika Serikat, serangan seksual di kampus terus menjadi berita utama. Tahun lalu,Anggota parlemen Belanda memperkenalkan undang-undang baru untuk menawarkan perlindungan yang lebih baik terhadap kekerasan seksual.Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan memprakarsai proyek untuk meningkatkan kesadaran tentang online kekerasan seksual.


Demikian juga, Indonesia harus ikut berjuang dengan meninjau kembali komitmen internasional dan nasionalnya untuk memberantas kekerasan seksual, yang merupakan bentuk diskriminasi yang mencolok. Pada tahun 1984, Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).


Konvensi ini menyerukan komitmen Indonesia terhadap perlindungan hukum bagi perempuan sebagai pihak rentan terhadap kekerasan seksual (Pasal 2c).


Pada akhirnya, UU HAM dan Konstitusi kita menegaskan kembali tanggung jawab negara untuk menjamin kebebasan dari ketakutan dan diskriminasi bagi semua.


Setelah disetujui sebagai inisiatif DPR, RUU itu akan dibahas dan dipoles lebih jauh. Pemerintah juga menjanjikan berbagai fokus group discussion untuk mengakomodasi masukan dari berbagai pemangku kepentingan.


Sebagai R.A. Kartini pernah berkata, “Setelah malam yang gelap gulita datanglah pagi baru yang indah.” Semoga,UU Pemberantasan Kekerasan Seksual akan segera menjadi cahaya di ujung terowongan Perjuangan Indonesia melawan diskriminasi.

Komentar