Tugas 3

 Sistem pemilihan dan penilaian dimensi partai di Indonesia demokratis


M. Faishal Aminuddin

abstrak


Studi tentang pemilihan dan konsekuensinya pada partai-partai politik di negara-negara demokrasi baru sering menyimak untuk menutupi dampak yang ditimbulkan pada sistem partai. Surat kabar ini bertujuan untuk memeriksa jangkauan sistem pemilihan dalam mempengaruhi partai politik dalam hal meningkatkan fungsi atau kinerja mereka. Studi ini akan menerapkan kerangka analitis yang dimulai sebelumnya oleh Webb dan White (2009) pada dimensi partai dalam demokrasi baru dengan melihat kasus indonesia. Dalam kerangka ini, ada beberapa faktor umum dalam kaitan antara sistem pemilu dan fungsi partai seperti polarisasi ideologis, basis konstituen partai, fractionalisasi dalam parlemen dan distribusi suara. Studi ini menemukan bahwa perubahan apapun yang diterapkan pada sistem pemilihan di Indonesia kurang atau tidak signifikan berdampak pada kinerja partai politik. Selain itu, studi ini menggunakan hasil pemilihan nasional sebagai bahan pertimbangan dan menghitung variabel dengan rumus korelasi yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan penjelasan empiris. 

pemilu; partai politik; dimensi kepartaian; Indonesia.

pengantar

Selain indonesia 1998, sebuah sistem politik terbuka memberikan elit politik, yang sebelumnya mengalami tekanan rezim otoriter, yaitu sikap kurang berani Untuk mulai mengaktualisasikan keberadaan politik mereka dengan membentuk partai politik. Sebagai hasilnya, sejak tahun 1999, Indonesia telah memasuki fase sistem multipartai ekstrim yang mencerminkan situasi tahun 1950-an. Oleh karena itu, penelitian dilakukan atau Partai politik di pasca-otoriter Indonesia masih menerapkan perspektif 'aliran' politik (politik politik) yang secara dominan terjadi dalam periode di samping analisis situasi yang lebih baru-baru ini. Ufen (2004), misalnya, considermenunjukkan cara kerja aliran politik diatur ulang oleh militer. Meskipun demikian, arus politik, meskipun dalam bentuk yang berbeda, tetap ada dan telah menjadi bagian dari dinamika politik selama pemilihan umum. Bahkan pada pemilihan tahun 1999 dan 2004. Beberapa dukungan yang diberikan oleh parit-partai politik masih dicirikan oleh aliran ideologis Muslim, meskipun kecenderungan baru-baru ini relatif lemah dibandingkan dengan pola aliran politik 

Pemilihan tahun 1955 (Ratnawati dan Haris, 2008).

Terlepas dari studi lebih lanjut, Ufen (2006) menyebutkan bahwa signifikansinya mulai berkurang dengan merujuk pada tren de-alignment yang ditunjukkan oleh meningkatnya partai 'presidenalisasi' dan meningkatnya otoritarianisme. Studi yang dilakukan oleh Mietzner (2007) juga menunjukkan arah baru aktivisme partai dengan mengatakan bahwa pola pembiayaan partai telah mengubah partai-partai menjadi pencari sewa yang kemudian menghasilkan koherensi internal terhadap agenda demokratis umum.

Satu faktor mengenai kepemimpinan dan identifikasi partai khususnya menarik untuk memperoleh lebih banyak perhatian selama periode transisi indonesia. Analisis pemilihan tahun 1999 dan 2004 menyingkapkan beberapa temuan menarik. Misalnya, faktor-faktor seperti pemilih persepsi publik tentang kepemimpinan dan identifikasi partai tetap signifikan dibandingkan dengan variabel lain seperti orientasi agama dan ekonomi politik (Liddle & Mujani 2007). Studi Liddle dan Mujani menunjukkan bahwa aspek kepemimpinan tetap dominan di sebagian besar partai politik di Indonesia, sehingga karakteristik umum partai dibentuk oleh tokoh-tokoh utama partai. Sebuah pertanyaan signifikan yang dapat lebih mudah dipahami adalah bagaimana hal ini berhubungan dengan kinerja partai. Beberapa studi mengenai partai politik di Indonesia telah dilakukan Dilakukan sejak tahun 1998 untuk mengatasi masalah ini.Misalnya, penelitian yang diadakan oleh Tan (2006) mengulas kinerja kedua partai itu dalam periode tujuh tahun setelah tahun 1998. Dia menemukan bahwa partai dan sistem partai menunjukkan kekuatan dan kelemahan dalam kaitannya dengan legitimasi. Selain itu, melembagakan pelembagaan partai masih lemah, karena sosok pribadi yang kuat dalam pemilu, menunjuk ke arah presiden pemerintahan setempat.Namun, dalam hal akuntabilitas, sistem pemilihan secara progresif memungkinkan pemilih untuk menerapkan mekanisme imbalan dan hukuman kepada partai dan pemimpin politik. Meskipun ada studi lain yang menyebutkan, partai politik di Indonesia tetap lebih dilembagakan daripada partai di filipina dan Thailand. Dimana kompetisi interparty lebih stabil (Ufen, 2008). Mietzner (2013) memberikan ilustrasi tentang hubungan antara uang dan ideologi dalam partai politik di Indonesia. Mietzner mempertanyakan penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa partai politik indonesia diduga hanya memiliki dvdfungsional dan manajemen yang buruk. Berdasarkan kesimpulan ini, dia menyarankan bahwa kontribusi studi sebelumnya dalam konsolidasi sistem demokratis patut dipertanyakan. Dia menemukan bukti dari partai kartel, di mana pihak-pihak di Indonesia sama sekali tidak mengadopsi karakteristik kartel dalam organisasi mereka, dan tingkat kompetisi intra-partai masih dibentuk oleh ideologi. Setelah meninjau literatur terkait kondisi partai di Indonesia dan terinspirasi oleh studi Hellman (2011), Mietzner berkomentar bahwa demokrasi dapat menciptakan perubahan politik dan sistem pemilihan baru. Oleh karena itu, hal itu dapat memicu menjamurnya partai politik baru, meskipun tidak memiliki pembenaran yang kuat terhadap program dan strategi mereka. Selain itu, argumennya secara eksplisit berfokus pada fakta empiris bahwa politisi terus memanfaatkan partai politik sebagai kendaraan politik Dan memobilisasi mereka ketika diperlukan selama pemilu. Oleh karena itu, tujuan partai hanyalah untuk melayani ambisi politik elit partai. Partai-partai politik di Indonesia dibentuk oleh supremasi elit politik sebagai pemenuhan ambisi pribadi mereka atau ambisi oligarki mereka masing-masing. Sejak dimulainya reformasi tahun 1998, sebuah partai umumnya dibentuk berdasarkan ideologi. Program-program dan strategi-strategi sebuah partai dianggap sebagai sekedar daftar resmi dan cenderung hanya dibiarkan sebagai dokumen tertulis. Hal ini hanya dipertimbangkan pada tingkat formal karena merupakan persyaratan awal untuk pendaftaran pemilu. Ini kemudian diikuti oleh pengembangan organisasi, yang mencakup komposisi elit, struktur pemerintahan dan membentuk budaya politik organisasi. Proses pengembangan basis bagi konstituen sosial dan politik terutama terjadi selama kampanye pemilu. Pola ini menjelaskan fenomena menjamurnya partai politik dan elit politik di Indonesia: sangat mudah untuk mengadakan pesta hanya karena itu adalah sebuah kendaraan dalam pemilu. Sementara itu, sistem pemilu telah diubah dari waktu ke waktu agar bisa memberikan hasil pemilihan yang berkualitas, terutama untuk meningkatkan kinerja partai. Studi telah menunjukkan bahwa sistem pemilihan memiliki konsekuensi politik yang membentuk dinamika partai politik dan sistem partai, juga memiliki efek pada jumlah partai dalam pemilihan dan parlemen (Bogdanor dan Butler, eds, 1983, Grofman dan Liiphart, eds, 1986). beberapa Variabel yang diukur sebagai dampak dari hukum pemilu terutama berfokus pada pengubahan suara, rumus pemilihan, tingkat proporsionalitas (Gallagher, 1991), atau perwakilan, fragmentasi partai dan distrik magn(Rae, 1967 Sartori, 1968, Taagepera, 1999, Cox, 1997). Artikel ini dimulai dengan mempertanyakan sejauh mana sistem pemilu mempengaruhi sistem partai dan pelaksanaannya di demokratis Indonesia? Tujuan artikel ini Adalah menjelaskan hubungan antara sistem pemilu dan partai politik dan dinamika sistem partai dari kinerja mereka dalam pemilihan sampai ke parlemen. Penelitian ini menggunakan kerangka analisa pada dimensi partai dalam demokrasi negara berkembang dan menerapkan analisis data kuantitatif untuk membuktikan temuan empiris. Kurs rupiah terhadap dolar as di atas angka rp9.300 per dolar as, karena pelaku pasar cenderung membeli dolar as untuk membeli rupiah, ucapnya.


Metode analitis: memperkirakan dimensi partai dalam demokrasi baru

Perubahan demokrasi, baik dalam terminologi gelombang ketiga demokrasi demokrasi, seperti yang ditemukan dalam penelitian oleh Webb dan White (2007), memperlihatkan bahwa partai politik memvariasikan tingkat adaptasi. Sebagai contoh, tahap-tahap sejarah pembangunan partai dalam gelombang pertama demokrasi di eropa barat, yaitu pembentukan kader partai parlementer elit, partai sosialis-massa, kemudian ditransformasi menjadi partai penuh pemilih. Pendirian partai baru di sebuah negara demokratis memperlihatkan secara gamblang hasil unik dari demokratisasi. Keunikan ini berasal dari variasi model kekuasaan rezim otoriter Untuk demokratisasi. Webb dan White (2007) 

Gunakan tiga dimensi partai untuk mengevaluasi keefektifan sistem partai. Pertama, mereka menilai dimensi hubungan partai dengan pemilih. Sehubungan dengan variabel pemilihan partai yang berfokus pada getaran dan kesehatan hubungan antara partai dan masyarakat pada umumnya, saya akan memeriksa sejauh mana legitimasi populer dari partai politik, identifikasi partai, pelembagaan partai dan tingkat fragmentasi partai di parlemen.

Komentar